Saturday 30 June 2012

Melestarikan Warisan Terakhir Zaman Kolonial di Asia


Yangon, Myanmar (AP) - Tidak ada tempat lagi di Asia selain di sini yang menyuguhkan pemandangan kota dengan ratusan bangunan megah dan juga sederhana tapi unik dari zaman kolonial, yang tetap teguh berdiri selama lebih dari seabad.

Komplek kementerian di Yangon, Myanmar. (AP Photo/Khin Maung Win)
Yangon, kota terbesar dan bekas ibu kota Myanmar, telah banyak berubah karena dampak modernisasi yang menghilangkan warisan lama, seperti yang terjadi di banyak kota metropolis Asia lainnya. Sebelumnya disebut Rangoon, Yangon digambarkan sebagai "kota dengan bermacam era."

Sekarang, setelah Myanmar membuka pintunya lebar-lebar kepada dunia dan membludaknya wisatawan yang datang, sebuah usaha keras dicanangkan untuk melestarikan bangunan kuno dan suasana yang memesona di Yangon dari dampak pembangunan moderen.

"Kami memiliki banyak warisan budaya di Yangon tetapi kami harus bertindak cepat atau itu semua akan hilang selamanya," kata Zin Nwe Myint, seorang ahli masalah perkotaan, di sebuah konferensi dari konservasionis lokal dan asing.

Warisan budaya tersebut tampak jelas ketika para peserta konferensi memasuki tempat acara, di The Strand, sebuah hotel legendaris yang dibangun pada tahun 1901 di dekat sungai dan dermaga.

Dari sana, hanya butuh berjalan kurang dari sejam, pengunjung bisa menikmati bermacam bangunan bergaya era kolonial Inggris: Victorian, Queen Anne, Neoclassical, Art Deco dan perpaduan dari budaya Inggris dan Burma. Kebanyakan bangunan tersebut ditempatkan berpola papan catur dengan pagoda Sule berada di tengah-tengah, menjulang tinggi dengan indah.

Sarah Rooney, penulis dari “30 Heritage Buildings of Yangon” (30 bangunan warisan budaya di Yangon), berkata bahwa favoritnya adalah gedung Pegu Club dan Lokanat Gallery Building.

Klub tersebut, yang dibangun dari kayu jati, tampak sedikit terlantar, tetapi itu membuatnya semakin menggugah dan berkesan, kata Sarah, lebih dari bangunan warisan budaya lainnya di Asia yang telah mengalami banyak renovasi. Dulunya, tempat itu merupakan tempat minum paling eksklusif, dan sering dikunjungi oleh orang seperti Rudyard Kipling, yang katanya menulis puisi “The Road to Mandalay” setelah pulang minum dari tempat tersebut.

Gedung Lokanat adalah "simbol dari kosmopolitanisme Yangon," kata Rooney. Dibangun pada tahun 1906 oleh seorang pedagang Yahudi dari Baghdad, gedung itu merupakan gedung bisnis paling bergengsi di kota itu, yang menyajikan pemotong rambut asal Filipina. Juga pedagang asal Yunani yang memasok cerutu dari Mesir, bir Jerman, dan gula-gula dari Inggris.

Thant Myint-U, seorang sejarawan Barat, mencatat bahwa dalam radius satu mil dari The Strand berdiri gereja Katolik Roma, Protestan dan Armenia, mesjid Syiah dan Sunni, kuil Jain, kuil Hindu dan sebuah sinagog, yang dulunya adalah pusat komunitas Yahudi terbesar di Asia.

Tertarik dengan sumber daya alam melimpah dari daerah itu, seperti kayu jati, minyak dan beras, para pencari keuntungan dan para buruh merangsek masuk dari seluruh dunia, merubah Yangon menjadi sebuah kota internasional. Pada tahun 1920an, kota itu dimasuki imigran lebih besar daripada New York.

Lalu datanglah Perang Dunia II, dan pada 1962 terjadi kudeta militer yang menyebabkan terjadinya setengah abad isolasi, penguasa otoriter dan tingkat ekonomi yang stagnan, yang mungkin menjadi penyebab bekunya waktu di Yangon.

"Di Yangon, kita masih dapat melihat banyak warisan budaya juga suasana dan jaringan sosial yang telah dibangun dan tumbuh bersama bangunan tua tersebut selama berpuluh-puluh tahun," kata Hlaing Maw Oo, seorang pejabat Kementerian Pembangunan Myanmar, yang mendorong pelestarian warisan budaya tersebut bersama dengan mempertahankan lahan hijau, danau dan vila pedesaan di Yangon.

Rekomendasi lainnya adalah membuat aturan batasan tinggi pembangunan gedung baru, pelatihan kelestarian, dan membuat gerakan kesadaran. Juga membuat daftar seluruh gedung yang tidak boleh diruntuhkan. Pemerintah saat ini memberi perlindungan terhadap 188 situs.

"Kita berada di titik kritis sejarah kota ini," kata Walikota Yangon, Myint Swe, di konferensi. "Kita ingin melihat Yangon sebagai kota di abad ke 21 tetapi juga ingin melestarikan warisan budaya kita. Saya menyadari sepenuhnya tentang tantangan yang kita hadapi, tetapi kita semua telah belajar dari pengalaman kesalahan kota-kota Asia lainnya," tambahnya.

Banyak gedung yang sebelumnya digunakan sebagai gedung pemerintahan telah kosong sejak 2005, ketika rezim yang berkuasa memindahkan ibu kota ke Naypyitaw dan berencana menjualnya. Dikhawatirkan sebagian gedung tersebut akan rusak dan tidak bisa diperbaiki atau dibeli oleh pengembang lalu dihancurkan.

Banyak gedung yang dimiliki pribadi, masih tidak dilindungi, telah diruntuhkan dan direnovasi menjadi struktur yang sangat berbeda dan merusak keharmonisan yang tadinya ada.

Beberapa gedung yang dimiliki pemerintah atau digunakan masih tampak kokoh, termasuk gedung Kedutaan Inggris, Rumah Sakit Umum yangon, St. Paul's School dan Balai Kota, percampuran dari rancangan gaya Eropa dengan pengaruh dari kuil di Burma.

Yang paling spektakuler di antara gedung-gedung itu adalah, bekas gedung Sekretariat, pusat kekuatan kolonial Inggris. Gedung di mana Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi, dibunuh pada tahun 1947.

Tawaran dari investor asing untuk mengubah gedung tersebut menjadi sebuah hotel memicu kemarahan publik, sebuah tanda menjanjikan bahwa penduduk Yangon siap berdiri mempertahankan warisan budaya di tanah mereka.

sumber:http://id.berita.yahoo.com

No comments:

Post a Comment