Thursday, 11 June 2015

Menguak Rahasia Tempat Bercinta Para Raja dan Ratu Kidul

Menguak Rahasia Tempat Bercinta Para Raja dan Ratu Kidul
Pada 1744, Susuhunan Paku Buwono II mendirikan Keraton Kasunanan sebagai pengganti Keraton Surakarta yang hancur usai peristiwa Geger Pecinan pada 1743.

Keraton terakhir dari Kesultanan Mataram itu, akhirnya didirikan di Desa Sala (Solo), sebuah desa kecil yang berada di dekat pelabuhan di sebelah barat Sungai Bengawan Solo.

Dengan susah payah dan penuh perjuangan, akhirnya keraton itu berdiri dengan gagah. Usai pembangunan itu, atas keinginan seluruh penghuni keraton, nama desa itu diganti dengan nama Surakarta Hadiningrat.

Roda kehidupan mulai bergerak, usai Keraton Kasunanan berdiri. Raja dan rakyat hidup berdampingan dengan damai dan bersahaja.

Waktu terus berlalu, hingga akhirnya sampailah usia keraton itu menginjak 20 tahun. Selama waktu itu, banyak sudah bangunan bagian dari keraton yang didirikan untuk mencukupi kebutuhan berlindung para penghuni keraton.

Pada tahun 1782, atau 1708 dalam kalender Jawa. Sri Susuhunan Paku Buowo III mendirikan mendirikan sebuah bangunan bernama Panggung Sangga Buwana.

Bangunan berbentuk menara itu dibangun di dalam lingkungan kedhaton Keraton Kasunanan Surakarta.

Bentuk bangunan ini cukup unik, pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai manusia yang memegang busur dan anak panah.

Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan sekedar hiasan semata, tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan tahun pendirian.

Sebagai pengingat, tahun pembuata bangunan itu diberi pertanda dengan sengkalan milir bertuliskn "Naga Muluk Tinitihan Janma" yaitu tahun 1708, atau sengkalan milir yang menandakan nama menara tersebut, yaitu "Panggung Luhur Sinangga Buwana" yang juga memiliki makna tahun 1708.

Tempat menyimpan rahasia ramalan kemerdekaan Indonesia

Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan milir yang pada zaman penjajahan Belanda dirahasiakan keberadaanya. 

Sebab, diketahui sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan tentang tahun kemerdekaan Indonesia, sehingga jelas akan menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh Belanda.
 
Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas panggung yang telah disinggung, yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma. Bentuk dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga tengah beraksi hendak melepaskan anak panah dari busurnya, sedangkan naganya sendiri digambarkan memakai mahkota.
 
Hal ini merupakan Sabda terselubung dari Sunan PB III. Seorang punjangga keraton Surakarta  bernama Rng.Yosodipuro, mengartikan sengkalan itu ternyata sesuai dengan ramalan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tahun 1945.
 
Panggung Sanggabuwana memiliki tinggi sekitar 30 meter, dan memiliki empat tingkat. Pada tingkat tiga, menghadap ke utara, terdapat sebuah jam besar yang dapat berbunyi sendiri.
 
Pada tingkat yang paling atas, digunakan untuk ber meditasi, sesaji, berinteraksi dengan sukma kasarira (Ratu Rara Kidul), dan melihat pemandangan kota sekitarnya.

Tempat bercinta Raja dengan Ratu Kidul

Selain sebagai tempat menyimpan rahasia ramalan kemerdekaan Indonesia, dari kaca mata mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana juga dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kanjeng Ratu Rara Kidul. 

Hal itu ditandai dengan letak Panggung Sangga Buwana tersebut, persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja, sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.
 
"Sampai sekarang, Sangga Buana masih difungsikan untuk semedi Raja dan bertemu Ratu Rara Kidul," ujar Purwanto, abdi dalem keraton.
 
Selain berfungsi sebagai tampat meditasi, panggung Sangga Buwana juga dijadikan sebagai sarana pengontrol keadaan sekitar keraton, mengingat bangunannya yang lebih tinggi dari bangunan sekitar.

Menara ini pernah terbakar pada 19 November 1954, lalu dibangun kembali dan selesai pada tanggal 27 Rabingulawal 1891, atau 30 September 1959.

Sebelum terbakar, bentuk atapnya dinamai tutup saji, yaitu atap yang berbentuk hasta wolu, atau segi delapan. Namun, sekarang bentuknya dibuat seperti payung yang sedang terbuka. 

No comments:

Post a Comment