Saturday 24 March 2012

Lokakarya Video Dokumenter LGBT Digelar di Beijing


Beijing -Yue Jianbao tak perlu heran mendapati dirinya adalah seorang gay, karena ternyata banyak temannya sesama pekerja tambang batubara, ketika ia bekerja di sana, juga termasuk komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

Yue, penggemar musik rock dan lari marathon, waktu itu merasa canggung hidup di kota tambang kecil Yangquan di provinsi Shangxi. Awal Maret ini ia melancong ke Beijing, bergabung dengan kawanan sebuah komunitas yang menggelar lokakarya pembuatan dokumenter tentang kehidupan komunitas LGBT.

“Ada dokumenter tentang LGBT dan ada juga dokumenter tentang penambang batubara, jadi kenapa gak bikin sekalian aja tentang kehidupan komunitas itu di lingkungan penambang batubara,” ujar Yue kepada China Daily Senin kemarin (20/3).

Ia mendaftar untuk ikut lokakarya yang digelar Lembaga Pendidikan Kesehatan Gender Beijing, bekerjasama dengan website berbagi-video LGBT Queer Comarades dan China Queer Independent Films (sebuah tur film tentang hak-hak LGBT).

Pendiri China Queer Independent Films dan seorang sutradara yang bernama Fan Popo memberi penjelasan tentang sarasehan ini. “Saya temukan ketika jalan-jalan ke seantero China, banyak kawan-kawan LGBT yang ingin belajar bagaimana membuat video dokumenter, yang punya semangat menggalang pengertian terhadap kalangan yang berbeda dengan mereka. Mudah-mudahan saja lokakarya ini bisa mewujudkan mimpi mereka,” kata Fan Popo, yang termasuk bukan anggota komunitas LGBT.

Yue ketemu Fan di sebuah pusat kebudayaan. Fan adalah satu dari 11 tutor dan Yue satu dari sembilan murid yang disaring dari 29 pelamar lokakarya ini. Yue, 32 tahun, tak pernah menjamah kamera video sebelumnya, tapi ia sudah paham betul soal mengulur dan menarik lensa alias “zoom in” dan “zoom out” itu.

Tapi sembilan anggota komunitas LGBT ini tak melulu hanya ingin belajar membuat film. Mereka sering berdiskusi masalah gender. Satu lagi, cewek lesbian bernama Lu Ping berdiskusi dengan peserta lainnya mengenai bagaimana media membentuk persepsi gender.

Ia memakai beberapa kasus sebagai contoh, seperti iklan mobil yang dibintangi oleh aktris Zhang Ziyi. Pada iklan itu Zhang memakai baju perempuan. Tapi Zhang yang berbaju cewek itu malah menyetir mobil dengan tangkas.

Lu ingin tahu pendapat para peserta lokakarya ini dan bertanya pendapat mereka mengenai iklan yang dibintangi Zhang itu. Mereka setuju meskipun Zhang memerankan pekerjaan laki-laki, tapi seksualitasnya tetap menjadi daya tarik utamanya.

“Ternyata analisis mereka mendalam,” ujar Lu. “Meskipun mereka tidak pernah belajar mengenai gender di sekolah, mereka tetap sensitif terhadap masalah-masalah seperti ini sebagai minoritas. Jadi mereka paham bahwa wanita masih dipakai sebagai simbol seks seperti yang diwakili oleh iklan-iklan itu,” tambahnya.

Lu berharap para peserta bisa tetap memiliki sudut pandang sendiri dalam karyanya, dan tidak mengopi iklan Zhang Ziyi tadi. “Meskipun ada terkandung bias dalam memandang suatu subjek, mereka bisa secara tidak sadar punya pendapat bias tentang kelompok-kelompok lain yang terpinggirkan,” kata Lu.

Setelah dua hari pelatihan, peserta akan dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing mendapat tugas membuat video sepanjang lima menit. Para perserta lokakarya bisa mengekspresikan dan menuangkan apa yang mereka peroleh selama lokakarya, dan dua dari sembilan peserta akan mendapat bantuan finansial maupun teknis jika proposal mereka menarik hati para juri.

Yue bergandeng tangan dengan Yao Yao, yang memiliki studio foto khususnya di provinsi Shandong. Mereka memilih tema tentang masalah transgender. Pendiri Queer Comrades lainnya Wei Jaingang mengarahkan tim Yue-Yao Yao. Wei menginterupsi ketika melihat tim Yue-Yao Yao ingin orang-orang yang diwawancara mendiskusikan dulu siapa yang bisa dikategorikan ke dalam penganut transgender.

“Jika kalian mengemukakan pertanyaan yang kering, kalian akan mendapat jawaban yang membosankan dan terlalu ilmiah,” ujar Wei. “Ingat, sasaran kalian adalah orang-orang yang tidak termasuk kaum LGBT. Ingat ya..” tambah Wei.

Wei memberi contoh yang mudah. “Bisa nggak, kamu nyebut nama selebriti yang menganut transgender? Gimana kamu tahu dia seorang LGBT?”. Wei bilang, 20 orang yang diwawancara cukuplah untuk mendukung sebuah video lima menitan. Wei menampik kalau mereka ingin mewawancarai sebanyak mungkin orang.

Salah seorang yang diwawancara Yue adalah teman sekelasnya Zou Weiwei, seorang penganut transgender asal provinsi Hubei. Zou melihat dirinya seolah lahir sebagai perempuan dan karena itu ia berdandan menor dengan alis bikinan nan tebal dan rambut dikeriting warna merah. Tapi suaranya gede seperti lazimnya suara pejantan.

Zou sudah menanam buah dada silicon, tapi masih juga tersisih ketika ikut kompetisi tari perut dalam sebuah acara mencari bakat. “Mengapa Anda membesarkan payudara kan sudah jelas Anda cowok aslinya.” Pertanyaan seperti itu yang membuat Zou kebingungan.

Tapi, kadang ia dihadapkan pada situasi yang lebih membuatnya tambah membosankan. Seorang juri mengatakan kepada Zou, “Saya bakal memilihmu jika kamu sudah operasi plastik menjadi seorang perempuan, atau kalau kamu seandainya cowok seratus persen. Lha sekarang saya tidak tahu, kamu ini apa? Sori, ya.” Zou sungguh gondok oleh jawaban juri ini.

Para juri akhirnya memilih video bikinan Yue yang berfokus tentang penambang batubara yang gay. Yao Yao terpilih sebagai pemenang kedua yang mengungkap operasi plastik dari cowok menjadi cewek. Topik-topik lain yang dibuat para peserta lokakarya antara lain mengenai konflik berdasar agama atau jenis kelamin serta perkembangan kaum lesbian di China.

“Kita lebih mengutamakan cerita yang tidak pernah dibuat sebelumnya, seperti yang dibuat oleh Yue dan Yao itu,” ujar Fan. “Dan kita memberi prioritas kepada minoritas di kalangan LGBT seperti kaum miskin dan transgender.’

Yue dan Yao sudah kembali ke kota mereka masing-masing dengan kamera video high-definition. Mereka akan kembali ke Beijing sebulan lagi dengan cuplikan-cuplikan video dan skrip yang masih kasar. Para tutor bakal memoles apa yang telah mereka buat serta menentukan rencana selanjutnya.

Lokakarya memang berlangsung selama seminggu, tapi video dokumenter mereka akan berpengaruh pada waktu yang lama. “Kaum minoritas mendapati bahwa suara mereka ternyata tak mudah dikumandangankan,” katanya.

“Video dokumenter ini memberi kesempatan bagi pemirsa untuk memahami kalangan LGBT dan harapan-harapan mereka. Penting bagi kaum LGBT untuk bisa mengoperasikan kamera. Sehingga mereka bisa berbicara tentang mereka sendiri daripada diedit oleh orang lain.”

Video garapan kaum LGBT ini akan ditayangkan dalam website Queer Comrades Films, dan Fan serta Wei berharap bisa ikut dalam festival yang lebih bergengsi. “Karena video dokumenter menggambarkan kejujuran bagi kehidupan, juga sebuah arsip penting,” kata Fan. “Video dokumenter itu bisa bercerita kepada generasi masa depan mengenai apa yang kita lakukan.”

INILAH.COM

No comments:

Post a Comment