Irish (1996) membuat ringkasan penting dari literatur mengenai
penelitian tentang pembelajaran dan hubungan yang spesifik dalam
keluarga. Pengetahuan utama tentang keluarga menghasilkan gagasan bahwa
ada kemungkinan setiap anak menggambarkan kondisi dalam keluarganya.
Sebaiknya, kita mengartikan keluarga sebagai unit/kesatuan bukan pada
masing-masing individunya. Tetapi, data utama tetap diperoleh dari
masing-masing anggota keluarga (Bell, 1962;
Haley, Ed., 1971). Proses pengenalan diri (self-definition) dimulai dari
keluarga. Anak mambangun kepribadian dan mempengaruhi keluarganya
dengan melukiskan diri mereka sendiri dengan terpisah tetapi tetap
menjadi individu yang berinterkasi. Handel berpikir akan sangat membantu
untuk mempersatukan pengertian yang mencakup individu dan keluarga.
Setiap orang harus didefinisikan psisi mereka dalam proses di keluarga
(Handel, 1965).
Dalam hukum-hukum sejarah yang pasti, masa depan
selalu berada ditangan generasi muda, yakni pada anak-anak. Kesadaran
untuk mencerdaskan anak tentulah dimiliki oleh setiap oarng tua yang
bijak. Persoalan dalam pendidikan keluarga adalah bahwa pengorbanan dan
kerja keras para orang tua yang mengharapkan anak-anak cerdas ini,
seringkali tidak disertai dengan kesadaran dan pengetahuan (know why and
know how) yang memadai tentang mencerdaskan anak itu sendiri. Banyak
orang tua yang berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anaknya adalah tugas
para guru dan intuisi pendidikan, sementara mereka sendiri asyik dengan
profesinya.
Kesadaran bahwa tugas utama mencerdaskan anak
adalah tugas orang tua, akan memberikan pengaruh yang positif, dalam
pembentukan tanggung jawab dan pengkondisian lingkunag keluarga untuk
mewujudkan anak-anak cerdas. Sebagaimana disabdakan Rasulullah saw,
“Setiap bayi yang lahir memiliki fitrah tawhid, orang tualah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Orang tua yang sadar dengan
tanggung jawab pendidikan dan pencerdasan ini akan lebih arif dalam
“memilihkan dan menawarkan” perangkat permaianan, mengajak ke tempat
rekreasi dan pembentukan lingkungan anak yang mendukung proses belajar
dan pencerdasan mereka. Sebagai orang tua, kita tidak saja mampu
membantu mengerjakan PR dan menyelesaikan pelajaran lainnya, tetapi juga
mengarahkan anak dan menunjukkan jalan hidup yang benar (sirat
al-mustaqim), sehingga memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini dan
akherat kelak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan
keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok
atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan
lingkungan yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan
mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan
pribadi, keluarga dan masyarakat.
Fungsi pendidikan dalam
keluarga tak terlepas dari peranan ayah dan ibu yang memiliki beberapa
turunan fungsi yang bersifat kultur (pendidikan budaya) untuk
mempartahankan budaya dan adat keluarga, bersifat religi (pendidikan
agama) agar kehidupan dalam keluarga berjalan dengan baik, sejahtera ,
tentram dan terarah. Selain itu, bersifat ekonomis (pendidikan ekonomi)
sehingga tidak tercipta krisis keuangan keluarga, bersifat sosialisasi
(pendidikan sosial) agar menciptakan suasana yang kondusif baik secara
internal maupun eksternal, bersifat protektif (pendidikan proteksi)
untuk melindungi wahana keluarga dari pengaruh apapun atau faktor apapun
yang merugikan bagi keluarga dan lainya.
Beberapa hal yang
memegang peranan penting keluarga sebagai fungsi pendidikan dalam
membentuk pandangan hidup seseorang meliputi pendidikan berupa pembinaan
akidah dan akhlak, keilmuan atau intelektual dan kreativitas yang
mereka miliki serta kehidupan pribadi dan sosial.
1) Pembianaan Intelektual.
Pembinaan
intelektual dalam keluarga memegang peranan penting dalam upaya
meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual, spiritual maupun
sosial. Karena manusia yang berkualitas akan mendapat derajat yang
tinggi. Dengan adanya pendidikan melalui pembinaan intelektual maka
kehidupan dalam keluarga dapat berjalan secara logis dan benar.
2) Pembinaan Akidah dan Akhlak
Mengingat
keluarga dalam hal ini lebih dominan adalah seorang anak dengan
dasar-dasar keimanan, sejakmulai mengerti dan dapat memahami sesuatu,
maka seorang tokoh terkemuka yaiu al-Ghazali memberikan beberapa metode
pendidikan dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan yaitu dengan cara
memberikan pemahaman lewat hafalan.
Sebab proses pemahaman
diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi). Ketika
mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya
sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini.
Inilah proses yang dialami anak pada umumnya.
Akidah adalah bentuk
penyaksian dari sebuah keimanan atas keesaan Tuhan. Sedangkan Akhlak
adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku, pendidikan
dan pembinaan akhlak anak. Dalam keluarga pendidikan yang berupa
pembinaan akidah dan akhlak dilaksanakan dengan memberi contoh dan
teladan dari orang tua. Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan
dan hubungan antara ibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin
Spock menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang
dapat dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka.
3)Pembinaan Kepribadian dan Sosial.
Pembentukan
kepribadian terjadi melalui proses yang panjang. Proses pembentukan
kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila dilakukan mulai
pembentukan produksi serta reproduksi nalar tabiat jiwa dan pengaruh
yang melatar belakanginya.
Mengingat hal ini sangat berkaitan dengan
pengetahuan yang bersifat menjaga emosional diri dan jiwa seseorang.
Dalam hal yang baik ini adanya kewajiban orang tua untuk menanamkan
pentingnya memberi support kepribadian yang baik bagi anak didik yang
relative masih muda dan belum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat
baik, hal ini cocok dilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa
berprilaku sopan santun dalam bersosial dengan sesamanya. Untuk
memulainya, orang tua bisa dengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada
orang tua agar kelak anak dapat menghormati orang yang lebih tua
darinya.
Disamping itu, dalam pembinaan kepribadian dan sosial
tersebut akan menciptakan fungsi pendidikan yang bersifat kultural,
sehingga budaya dan adat yang dipegang dalam kelurga dapat tetap lestari
dan terjaga.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam
posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari
oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
B. Tujuan Pendidikan Keluarga
Perbuatan
mendidik diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan
pendidikan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989
dan ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989, tujuan pendidikan nasional
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan-tujuan
ini bisa menyangkut kepentingan anak itu sendiri, kepentingan
masyarakat dan tuntutan lapangan pekerjaan. Proses pendidikan terarah
pada peningkatan, penguasaan, kemampuan, keterampilan, pengembangan
sikap, dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangn diri
anak. Pengembangan diri ini dibutuhkan untuk menghadapi tugas-tugas
dalam kehidupannya sebagai pribadi, sebagai siswa, karyawan,
profesional, maupun sebagai warga masyarakat.
Keluarga bukan
hanya menjadi tempat anak dipelihara dan dibesarkan, tetapi juga tempat
anak hidup dan dididik pertama kali. Apa yang diperolehnya dalam
kehidupan keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan pada
kehidupan-kehidupan selanjutnya. Keluarga merupakan masyarakat kecil
sebagai prototype masyarakat luas. Semua aspek kehidupan masyarakat ada
didalam kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi, sosial, politik,
keamanan, kesehatan, agama, termasuk aspek pendidikan.
Diantara
aspek-aspek kehidupan tersebut, pendidikan menepati kedudukan yang
paling sentral dalam kehidupan keluarga, sebab ada suatu kecenderungan
yang sangat kuat pada manusia, bahwa mereka ingin melestarikan
keturunannya dan ini dapat dicapai melalui pendidikan. Cita-cita orang
tua tentang anak direlisasikan melalui pendidikan.
Tujuan umum
dari pendidikan keluarga adalah tercapainya perkembangan yang optimal
sesuai dengan potensinya masing-masing. Sedangkan tujuan-tujuan yang
khusus adalah:
1. Pemahaman yang lebih baik tentang diri, lingkungan, dan perkembangannya.
2. Mampu memilih dan menentukan arah perkembangan dirinya, mengambil keputusan yang tepat bagi diri dan lingkungannya.
3. Mampu menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun lingkungannya.
4. Memiliki produktivitas dan kesejahteraan hidup.
C. Karakteristik Pendidikan Keluarga
Di
dalam pendidikan keluarga setiap anggota keluarga mempunyai peranan
masing-masing. Seperti Ibu dan bapak berperan sebagai pendidik dalam
keluarga walaupun tidak ada kurikulum khusus tertulis yang mereka buat
atau ikuti. Bapak sebagai penanggung jawab keluarga yang mengantarkan
anak untuk memasuki lingkungan sekitarnya. Sedangkan ibu sebagai tokoh
utama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya.
1) Peran Ayah dalam Keluarga
B.
Simanjuntak dan I.I. Pasanibu menyatakan bahwa peran ayah itu adalah
(1) sumber kekuasaan sebagai dasar identifikasi, (2) penghubung dunia
luar, (3) pelindung ancaman dunia luar dan (4) pendidik segi rasional
(B. Simanjuntak, II Pasaribu, 1981, p.110). Sikun Pribadi membagi peran
ayah menjadi (1) pemimpin keluarga, (2) sex poster, (3) pencari nafkah,
(4) pendidik anak-anak, (5) tokoh identifikasi anak, (6) pembantu
pengurus rumah tangga.
Ayah berperan sebagai jalannya rumah
tangga dalam keluarga. Sebagai pemimpin keluarga orang tua wajib
mempunyai pedoman hidup yang mantap, agar jalannya rumah tangga dapat
berjalan dengan lancar menuju tujuan yang telah dicita-citakan. Ayah
sebagai sex partner. Dapat melaksanakan peran ini dengan diliputi oleh
cinta kasih yang mendalam. Seorang ayah harus mampu mencintai istrinya
dan jangan selalu minta dicintai istrinya. Ayah sebagai pencari nafkah.
Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali
dalam keluarga. Sebab segala segi kehidupan dalam keluarga perlu biaya
untuk sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan pengobatan. Untuk
seorang ayah harus mempunyai pekerjaan yang hasilnya dapat dipergunakan
untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Ayah sebagai pendidik.
Terutama menyangkut pendidikan yang bersifat rasional. Pendidikan mulai
diperlukan sejak anak umur tiga tahun ke atas, yaitu saat anak mulai
mengembangkan ego dan super egonya. Kekuatan ego (aku) ini sangat
diperlukan untuk mengembangkan kemampuan realitas hidup yang terdiri
dari segala jenis persoalan yang harus dipecahkan. Ayah sebagai tokoh
atau modal identifikasi anak. Untuk identifikasi diri dalam rangka
membentuk super ego (aku ideal) yang kuat. Super ego merupakan fungsi
kepribadian yang memberikan pegangan hidup yang benar, susila dan baik.
Oleh karena itu seorang ayah harus memiliki pribadi yang kuat. Pribadi
ayah yang kuat akan memberikan makna bagi pembentukan pribadi anak. Aku
ini akan terbentuk dengan baik jika ayah sebagai model dapat memberikan
kepuasan bagi anak untuk identifikasi diri. Ayah sebagai pembantu
pengurus rumah tangga. Sebagai lembaga sosial yang memerankan berbagai
fungsi kehidupan manusia. seorang ayah dituntut untuk bekerja keras, dan
berpengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena
persoalan-persoalan kehidupan makin lama makin sulit dan kompleks.
2)Peran Ibu dalam Keluarga
Kartini
Kartono (1977) menyebutkan bahwa fungsi wanita dalam keluarga sebagai
berikut (1) sebagai istri dan teman hidup (2) sebagai partner seksual
(3) sebagai pengatur rumah tangga (4) sebagai ibu dan pendidik
anak-anaknya, (5) sebagai makhluk sosial yang ingin berpartisipasi aktif
dalam lingkungan sosial. Sikun Pribadi (1981) menyatakan bahwa peranan
wanita dalam keluarga adalah (1) sebagai istri (.2) sebagai pengurus
rumah tangga (3) sebagai ibu dari anak-anak, (4) sebagai teman hidup dan
(5) sebagai makhluk sosial yang ingin mengadakan hubungan sosial yang
intim. Kedua pendapat tersebut ternyata dapat sama, hanya penempatan
urutan dan kombinasi peran yang brbeda. Nani Suwondo (1981) menyatakan
bahwa wanita dalam keluarga itu mempunyai panca tugas yaitu (1) sebagai
istri (2) sebagai ibu pendidik (3) sebagai ibu pengatur rumah tangga (4)
sebagai tenaga kerja (5) sebagai anggota organisasi masyarakat.
Wanita
sebagai ibu pendidik anak dan pembina generasi muda. Ibu sebagai
pendidik anak bertanggung jawab agar anak-anak dibekali kekuatan rohani
maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman dan menjadi
manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Ibu sebagai pengatur rumah
tangga. Ibu pengatur rumah tangga merupakan tugas yang berat. Sebab
seorang ibu harus dapat mengatur segala peraturan rumah tangga. Oleh
karena itu ibu dapat dikatakan sebagai administrator dalam kehidupan
keluarga. Oleh karena itu ibu harus dapat mengatur waktu dan tenaga
sescara bijaksana.
Ibu sebagai tenaga kerja. Dalam perkembangan
sekarang ini dapat dikatakan baik di desa maupun di kota tampak bahwa
ibu juga berperan sebagai pencari nafkah. Harus ada kesepakatan yang
kuat dan bijak antara ibu dan ayah.
Ibu sebagai makhluk sosial. Ibu
sebagai makhluk sosial tidaklah cukup berfungsi (1) beranak, (2)
bersolek, (3) memasak atau seperti predikat ibu di Barat ibu hanya
mengurusi (1) anak, (2) pakaian, (3) dapur, (4) makanan saja (Hardjito
Notopuro, 1984, p.45). Ibu sebagai makhluk sosial perlu diberi peran
dalam masyarakat dan lembaga-lembaga sosial dan politik. Di desa-desa
ibu berperan aktif dalam PKK, baik sebagai anggota maupun sebagai
pengurus, di kantor-kantor ia diberi kesempatan untuk mendampingi suami
sebagai pengurus atau anggota Darma Wanita, Darma Pertiwi dan
sebagainya. Ibu dengan tugas-tugas ini akan merasa puas dan banagia,
jika semua tugas itu dapat dilaksanakan sebaik-baiknya
Karakteristik
yang paling menonjol dalam pendidikan keluarga adalah tentang metode
modelling. Secara tidak langsung maupun langsung anggota keluarga saling
mengidentifikasi karena intensnya pertemuan mereka.
D. Pendidikan Keluarga
Pendidikan
keluarga merupakan bagaian integral dari sistem pendidikan Nasional
Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi
pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga.
Dasar hukum pendidikan Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar
hukum ideal, dasar hukum struktural, dan dasar hukum operasional. Dasar
hukum ideal adalah pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Oleh karena itu landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah
pancasila.
Tiap-tiap orang tua mempunyai kewajiban untuk
menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada anak-anaknya. Orang tua itu
mempunyai wajib hukum untuk mendidik anak-anaknya. Keberhasilan anak
dalam pendidikan merupakan keberhasilan pendidikan dalam keluarga.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orangtua, pemerintah,
dan masyarakat. Pendidikan dalam keluarga berlangsung karena hukum
kodrat. Secara kodrati orang tua wajib mendidik anak. Oleh karena itu
orang tua disebut pendidikan alami atau pendidikan kodrat. Pembagian
tugas dan peran dalam keluarga membawa konsekuensi dan tanggung jawab
pada masing-masing peran itu dalam keluarga.
1) Jenis-jenis Pendidikan dalam Keluarga
Jenis-jenis
pendidikan yang perlu diberikan pada anak. Dalam keluarga diberikan
bermacam-macam kemampuan jika diperhatikan kegiatan di dalam rumah
tangga maka terjadi transformasi nilai-nilai yang beraneka ragam. Nilai
ada bermacam-macam, Driyarkara S.Y. yang dikutip dalam Pengasuh Basis
(1980), (1) nilai vital, (2) nilai estetik, (3) nilai kebenaran dan (4)
nilai moral Anton Sukarno (1986) membagi nilai menjadi (1) nilai
material, (2) nilai vital, dan (3) nilai rohaniah yang terdiri dari
nilai kebenaran, nilai moral, nilai keindahan dan nilai religius. Nilai
material menurut Driyarkara termasuk nilai vital. Nilai material
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani, Nilai vital berkaitan
dengan semua barang yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kejasman. Jadi
Driyarkara menggabungkan antara nilai material dan nilai vital.
Nilai-nilai
yang menyebabkan seseorang dapat merasakan bahagian dengan mengalami
barang-barang yang bagus dan indah disebut nilai estetika atau nilai
keindahan.
- Nilai kebenaran
Dalam kehidupan sehari-hari dapat
kita ketahui setiap orang ingin mengetahui dan mengerti tentang sesuatu
hal baik yang bersumber dari dalam dirinya maupun hal-hal yang diluar
dirinya. Nilai kebenaran berkaitan dengan berpikir logis manusia.
Sesuatu itu bernilai kebenaran jika dipandang dari akal suatu hal itu
benar. Jika seseorang dalam memecahkan suatu persoalan yang dihadapi
maka ia merasa puas, sebab ia telah menemukan kebenaran terhadap sesuatu
yang tadinya merupakan kesulitan tadi.
- Nilai-nilai moral
Manusia
sebagai makhluk jasmani dan rohani. N. Driyarkara S.Y. menjelaskan
bahwa untuk perkembangan manusia, manusia itu harus melaksanakan
hukum-hukum yang melekat pada diri manusia sebagai manusia (Pengasuh
Majalah Basis, 1980, p.110). Hukum-hukum ini disebut hukum moral atau
kesusilaan. Menurut hukum moral manusia itu harus melaksanakan suatu
kewajiban, harus cinta sejati kepada sesama, meluhurkan martabat dan
derajat manusia. Hukum moral dan kebebasan adalah dua hal yang melekat
pada diri manusia. Dengan hukum moral manusia terikat, tetapi manusia
bebas untuk melaksanakan. Nilai-nilai moral atau nilai susila berkaitan
dengan perilaku yang baik dan buruk.
- Nilai religius atau nilai keagamaan
Nilai
religius merupakan manifestasi dari manusia sebagai makhluk Tuhan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan dapat mengalami dan merasakan suatu
keharusan di dalam dirinya untuk mengakui bahwa adanya bukan adanya
sendiri, tetapi adanya karena diadakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia
mengakui suatu realitas bahwa dia sebagai makhluk yang diciptakan oleh
Sang Pencipta. Oleh karena itu ia dapat disebut makhluk Tuhan yang harus
taat dan taklim kepada-Nya. Dnyarkara SY. mengatakan bahwa nilai
keagamaan merupakan fondasi dari nilai-nilai moral. Nilai moral dan
nilai agama ini merupakan tuntutan dari dalam diri manusia. Dalam
keluarga terjadi transformasi nilai-nilai. Seluruh nilai-nilai tersebut
telah ditransformasikan ke dalam diri anak oleh orang tua. Oleh karena
itu segala jenis pendidikan telah dilaksanakan dalam keluarga. Sudardjo
Adiwikarta (1988, p.66) menyatakan bahwa di semua lingkungan pendidikan
semua aspek mendapat tempat.
Seperti telah dijelaskan di muka, kita
mengenal tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga,
llngkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Semua lingkungan
pendidikan ini telah menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan
aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor. Dalam hal ini,
pendidikan yang diberikan hanyalah dasar-dasarnya saja. Oleh karena itu
Sikun Pribadi menyatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan
pertama bagi perkembangan anak. Pendidikan yang pertama merupakan
pondasi bagi pendidikan selanjujtnya (Sikun Pribadi, 1981, p.67). Semua
jenis pendidikan masih dikembangkan dan disempurnakan di lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat. Dan akhirnya hanya pendidikan moral
dan religius saja yang bertahan di lingkungan di rumah.
Dalam
keluarga juga ia mulai mempelajari cara-cara dan aturan berbuat dan
berperilaku sesuai dengan norma sosial yang dianut masyarakat
sekitarnya. Sosialisasi dalam berbagai segi kehidupan dipelajari dalam
keluarga. Tentu hasilnya akan sangat tergantung kepada berbagai
karakteristik keluarga tempat anak itu diasuh dan dibesarkan.
2)Pola Asuh Dalam Keluarga
Jika
peran-peran dalam keluarga kita perhatikan di sana ada yang disebut
bapak, ibu dan anak. Ketiga istilah ini dalam kehidupan sehari-hari
sangat familier. Bapak dalam keluarga mempunyai makna khusus yaitu
sebagai role-job, skill-job, dan aim-job. Bapak sebagai peran telah kita
bicarakan di muka bahwa bapak memiliki peran ganda termasuk di dalamnya
aim-job dan skill-job. Dalam kesempatan akan lebih berkaitan dengan
skill-job dalam kaitan interaksi antara bapak dan anak, ibu dan anak.
Pengertian ibu dan bapak dalam keluarga akan nampak peran ibu dan bapak
sebagai orang yang memiliki keterampilan untuk mendidik, mengajar dan
melatih anak. Keterampilan bapak dan ibu dalam menyampaikan nilai-nilai
kepada anak-anaknya.
Keterampilan dalam menyampikan nilai-nilai
kepada anak ini dapat berpusat pada dua kutub yang dipengaruhi oleh gaya
orang tua. Sudardjo Adiwikarta (1988) membedakan dua pola yang berpusat
pada anak (child centered) dan pola yang berpusat pada orang tua
(parent centered). Singgih D. Gunarsa (1983) berdasarkan gaya orang tua
membedakan tiga cara yaitu (1) cara otoriter, (2) cara bebas, (3) cara
demokrasi, (Singgih D Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, 1983, p.
82-84).
- Pola asuh otoriter
Pola asuh yang otoriter akan
terjadi komunikasi satu dimensi atau satu arah. Orang tua menentukan
aturan-aturan dan mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap perilaku
anak yang boleh dan tidak boleh dilaksanakannya. Anak harus tunduk dan
patuh terhadap orang tuanya, anak tidak dapat mempunyai pilihan lain.
Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak melakukan perintah
orang tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang
dikerjakan itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Orang tua
memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan
keadaan anak, keinginan anak, keadaan khusus yang melekat pada individu
anak yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lain.
- Pola asuh bebas
Subjek
asuh bebas, berorientasi bahwa anak itu makhluk hidup yang berpribadi
bebas. Anak adalah subiek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati
nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri
apa yang diperlukan untuk hidupnya. Anak telah terbiasa mengatur dan
menentukan sendiri apa yang dianggap baik. Orang tua sering
mempercayakan anaknya kepada orang lain, sebab orang tua terlalu sibuk
dalam pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya. Orang tua hanya
bertindak sebagai polisi yang mengawasi permainan menegur dan mungkin
memarahi. Orang tua kurang bergaul dengan anak-anaknva, hubungan tidak
akrab dan anak harus tahu sendiri tugas apa yang harus dikerjakan.
Dua
pola ini memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh memang
memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh otoriter memang
memungkinkan terlaksananya proses transformasi nilai dapat berjalan
lancar. Akan tetapi anak mengerjakan tugas dengan rasa tertekan dan
takut. Akibatnya jika orang tua tidak ada mereka akan bertindak yang
lain. Dia akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang telah
ditetapkan. Pola asuh bebas memang memandang anak sebagai subyek, anak
bebas menentukan pilihannya sendiri. Akan tetápi anak justru menjadi
berbuat semau-maunya; ia berbuat dengan mempergunakan ukuran diri
sendiri. Pada hal anak berada dalam dunia anak dan dia harus masuk pada
dunia nilai dan dunia anak. Oleh karena itu anak akan kebingungan ibarat
anak ayam yang ditinggalkan induknya. Akhirnya anak akan lari ke
sana-kemari tanpa arah.
- Pola asuh domokratis
Pola asuh ini
berpijak pada dua kenyataan bahwa anak adalah subjek yang bebas dan anak
sebagal makhluk yang masih lemah dan butuh bantuan untuk mengembangkan
diri. Anak sebagai pribadi yang masih perlu mempribadikan dirinya, dan
terbuka untuk dipribadikan. Proses pempribadian anak akan berjalan
dengan lancar jika cinta kasih selalu tersirat dan tersurat dalam proses
itu.
3) Fungsi Pendidikan Keluarga dalam Islam
Fungsi
pendidikan bagi keluarga meliputi fungsi melahirkan anak dan
menyusukannya, fungsi pengeluaran dan memberi sumbangan perekonomian
untuk memenuhi keperluan anggota-anggota keluarga, fungsi pelayanan
terhadap anggota-anggota keluarga, fungsi sosial, agama, ekonomi,
politik, dan dimana anggota-anggota keluarga tidak membatasi
aktifitasnya dalam rumah, tetapi keseluruhan masyarakat dimana keluarga
itu berada.
Adapun fungsi-fungsi yang akan kekal adalah fungsi
melahirkan anak (menyusui, pemeliharaan anak, pemakanan jasmani dan
psikologikal), fungsi pendidikan (proses sosialisasi, nasihat
,bimbingan, pengembangan bakat, dan lain-lain). fungsi pendidikan yang
akan kekal menjadi tanggung jawab pokok bagi keluarga. Penting atau
tidak akan berubah karena berubahnya konsep-konsep dan
pemikiran-pemikiran pendidikan, juga tidak akan berubah karena
bertambahnya jumlah institusi-institusi khas untuk pendidikan dan
lembaga-lembaga. Walaupun demikian tingginya tingkat perkembangan dan
perubahan yang berlaku, keluarga tetap memelihara fungsi pendidikannya
dan menganggap sebagian tugasnya sebagai fungsi umum yang menyiapkan
sifat cinta-mencintai dan keserasian diantara anggota-anggotanya.
E. Problematika Pendidikan Keluarga
Umumnya
konsep atau paradigma disandarkan atas pandangan-pandangan filosofis
tentang manusia. Hal ini sebagai sesuatu yang wajar, mengingat
pendidikan memilki perhatian utama terhadap manusia. Tanpa adanya
asumsi-asumsi atau pandangan filosofis tentang manusia, sebuah konsep
ynag berfungsi untuk perekayasaan atau pemberdayaan potensi manusiawi,
tidak dapat dibangun. Begitu juga halnya jika kita ingin mendidik dan
mencerdaskan anak.
Apa yang sering terjadi adalah orang tua yang
ambisius dan terobsesi pada sesuatu, kemudian dengan serta merta ingin
menjadikan anaknya tersebut seperti yang dikehendakinya atau minimal
sesukses dirinya. Sebaliknya juga bisa terjadi, karena orang tua gagal
atau terpuruk dalam suatu bidang atau jenis kegiatan, kemudian dia
melarang anaknya untuk memasuki suatu bidang.
Kecenderungan
orang tua yang demikian ini sesungguhnya mengandung kesalahan logis yang
cukup serius. Pola seperti ini menurunt Jalaluddin Rachmat merupakan
kerancuan berpikir dan mitos. Pemaksaan terhadap hal ini , apalagi
dilakukan sejak dini, biasanya akan berakibat buruk bagi masa depan
anak-anaknya. Sebuah obsesi atau kehidupan yang sulit dapat dijadikan
sebagai sebuah pelajaran bagi anak-anaknya ketika memasuki usia dewasa
bukan sebagai beban psikologis.
Untuk memperbaiki hal-hal tersebut
kita perlu melihat secara objektif. Pertama perlu sekali
mempertimbangkan perubahan-perubahan zaman. Kedua, ada potensi-potensi
atau kelemahan yang berbeda pada setiap orang, termasuk antara anak dan
orang tuanya. Ketiga, jika ada proses pemaksaan atau pembebanan seperti
itu, sesungguhnya telah menutup peluang terhadap berbagai kemungkinan
potensial dan kemampuan anak dikemudian hari.
Kesadaran dini
untuk mengetahui siapa sesungguhnya anak adalah persoalan besar pertama
yang harus dihadapi orang tua, sebelum berbagai persoalan menyangkut
kewajiban dan hak-haknya terhadap anak. Pengetahuan tentang anaknya
membantu orang tua berkomunikasi, bersikap dan tentu berupaya
mencerdaskan anaknya sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Langgulung, Hasan. (1995). Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan.Jakarta: Al Husna Zikra.
S, S Nana. (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suharsono. (2004). Mencerdaskan Anak. Depok : Inisiasi Press.
Bernard, W Harnold. Fullmer , W Daniel.( 1977). Principles of Guidance. New York: Thomas Y Crowell Company.
No comments:
Post a Comment