“Tawuran Pelajar”: Ditinjau dengan perspektif perilaku Agresi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pelajar
yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari
segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat potensial
bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang
period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan
tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi
konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah
mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika
tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan
mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu
“tawuran”. .
.“Tawuran” mungkin kata tersebut sering kita dengar dan
baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik
individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini
beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan
berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi
di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di
kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal
(mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada
kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal
merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung
dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai
dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah
memprihatinkan bagi kita semua.
Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah
perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri
menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993)
didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat,
berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau menghukum orang lain. Atau
secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai
orang lain atau merusak milik orang lain.
Banyaknya tawuran antar
pelajar di kota-kota besar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk
dibahas. Di sini penulis akan memberi beberapa contoh dari
berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006
terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga
sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan
SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal
26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan
SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19
September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3
(karebosi.com). Tidak hanya pelajar tingkat sekolah menengah saja yang
terlibat tawuran, di Makasar pada tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa
Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran dengan sesama rekannya
disebabkan pro dan kontra atas kenaikan biaya kuliah
(tempointeraktif.com). Sedangkan di Semarang sendiri pada tanggal 27
November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde
(liputan6.com). Masih banyak kejadian tawuran antar pelajar yang tidak
bisa penulis sebutkan satu per satu di sini.
Tawuran pelajar secara
kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan
Sosial DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya
sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa yang
jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan
dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap enteng. Jumlah korban tewas
akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26
orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial,
tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara material banyak
fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau
pelemparan bus umum.
Berkaitan dengan agresi Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games
On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect,
Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game
kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap
anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana
video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi
yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game
kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama
yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan
kepribadian yang agresif – kognisi agresif.
. M. Brent Donnellan,
Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom
Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti
Social Behavior, and Delinquency menunjukkan bahwa self-esteem bisa
meramalkan masalah-masalah pengeksternalisasian dimasa depan; anak-anak
berusia 11 tahun dengan self-esteem yang rendah cenderung meningkat
agresinya pada umur 13.
Andreas diekmann, Monika jungbaeur-gans,
Heinz Krassing, Sigrid Lorenz dalam penelitiannya Social Status and
Aggression menunjukan bahwa social status yang lebih tinggi tidak hanya
menghambat respon agressif namun juga dapat memperhebat kecenderungan
agresif seseorang, namun penelitian ini tidak dapat di generalisasikan
karena perbedaan budaya dapat juga memainkan peran dalam agresi..
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud memandang tawuran dengan
memahami bebarapa perspektif perilaku agresi dan mencari jalan keluar
untuk mengatasi masalah tawuran pelajar.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang tersurat dalam pendahuluan di atas dapat
ditarik suatu rumusan masalah pokok sebagai berikut, Bagaimana teori
agresi memandang tawuran pelajar dan bagaimana cara mencegah terjadinya
tawuran pelajar?
BAB II
Landasan Teori
A. Pengertian
Agresi walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak
mudah
untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan
menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron &
Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini,
jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku
tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit
akibat
tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk
agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal
ini dapat dikatakan sebagai
perilaku agresi.
Perilaku agresif
adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk
menyakiti dan merugikan orang lain. Jenis Agresi digolongkan menjadi
dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile aggression) semata- mata
dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan
kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam
jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2) agresi
instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai
emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan
lain selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup
perkelahian untuk membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika
terjadi perampokan, perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau
dominasi seseorang (Myers dalam Sarwono,2002). Perbedaan kedua jenis
agresi ini terletak pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata-
mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan
untuk mencapai tujuan lain.
B. Bentuk-bentuk Agresi
Bentuk
atau ekspresi agresi dapat berupa fisik maupun verbal. Agresi yang
berbentuk fisik seperti memukul, menendang, melempar, merusak serta
bentuk- bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/ luka pada objek atau
sumber frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat verbal seperti
mencaci- maki, berteriak- teriak, mengeluarkan kata- kata yang kasar/
kotor dan bentuk- bentuk lain yang sifatnya verbal/ lisan.
C. Teori-Teori Agresi
1. Teori Frustrasi - Agresi
Teori
frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi
(frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang
untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan
agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang
untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk
dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan
bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup
universal,agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
2. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3. Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau
diabaikan
pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif
terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang
salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara
mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam
Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi
perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan
warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan
temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan
menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara
paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek
perilaku.
BAB III
Pembahasan
A. Tawuran Merupakan Perilaku Agresif yang Marak dilakukan di Kalangan Pelajar
Tawuran
merupakan salah satu bentuk perilaku agresi, karena dalam tawuran
terdapat perilaku baik fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud
untuk menyakiti dan merugikan orang lain.
Masa Remaja merupakan
masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui
aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan
kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa
dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya
semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri
kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan,
emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
Pada fase ini, remaja
termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara
kolektif (group deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang
sangat kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang
berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat
pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat
memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan
disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi
perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok
sebaya adalah nilai yang negatif.
B. Pandangan teori Agresi terhadap Sebab Terjadinya Tawuran
Tawuran
pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial
kolektif remaja dan perilaku agresif yang marak terjadi di daerah
perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas. Disinilah uniknya,
sampai sampai kelompok kerja ( pokja ) penanggulangan masalah tawuran (
1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa penyebab
tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya
sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula
melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom
molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi yang
dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu,
tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang
terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya.
Kiranya, ada baiknya kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori
Agresi, karena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi.
1. Teori Frustrasi – Agresi
Frustrasi
terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi
merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin
yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan
banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan
yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya
mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang
berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya
tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi
ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa
tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan
waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di
pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada
terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena
frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya)
oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah
untuk kebutuhan dirinya.
Perspektif frustasi-agresi dipelopori oleh 5
orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun
1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap
frstasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada yahun 1941, Miller
menyatakn bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan
tidak selalu menimbulkan perilaku agresi. Perilaku agresi hanya salah
satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan Brwn (dalam
Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul dari
akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar
dibandingkan dengan halangan yang diebabkan diri sendiri. Hasil
penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap
akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan
perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang
disebabkan situasi yang tidak menentu(uncertaint) akan memicu perilaku
agresi semakin besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang
menentu.
Dollard dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi
menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika
ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam kenyataannya, tidak setiap
perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber frustasi, sehingga orang
akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2. Teori Belajar Sosial
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak
belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games"
atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan
adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang
disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film
laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus
perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down,
UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa
acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang
mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
Model pahlawan di film-film
seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan.
Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat
penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat
dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan
kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal
ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam
penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya
Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive
Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial
Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman
kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para
individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara
positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan
anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif
dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang
terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif. .
Selain
model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat
berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang
yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung
menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau
dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa
perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang
sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat
perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model
kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di
toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang
di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi.
Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku
agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur
kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan,
pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan
model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis
jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena
memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang
menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam
video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk
kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.
3. Teori Kualitas Lingkungan
Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah
Setidaknya
ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama
adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat
hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak
tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah
faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses
belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi
edukatif di sekolah.
Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak
efektif Pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun
pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota
keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari
pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak
jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti
perkelahian.
Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak
berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja
dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi
remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka
tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari
kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat
menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah .
Remaja
yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti
apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari
situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah
goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku
menyimpang. Seperti hasil penelitian M. Brent Donnellan, Kali H.
Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi
dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti
Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung
meningkat agresinya pada umur 13.
C. Upaya Mengatasi Tawuran
1.
Dengan memandang masa remaja merupakan periode storm and drang period
(topan dan badai) dimana gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga
perilaku mereka mudah menyimpang. Maka pelajar sendiri perlu mengisi
waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, Seperti Mengikuti
kegiatan kursus, berolahraga, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dll.
2. Lingkungan keluarga juga dapat melakukan pencegahan terjadinya tawuran, dengan cara:
a. Mengasuh anak dengan baik.
- Penuh kasih sayang
- Penanaman disiplin yang baik
- Ajarkan membedakan yang baik dan buruk
- Mengembangkan kemandirian, memberi kebebasan bertanggung jawab
- Mengembangkan harga diri anak, menghargai jika berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu.
b. Ciptakan suasana yang hangat dan bersahabat: Hal ini membuat anak rindu untuk pulang ke rumah.
c. Meluangkan waktu untuk kebersamaan
Orang tua menjadi contoh yang baik dengan tidak menunjukan perilaku agresif, seperti: memukul, menghina dan mencemooh.
d. Memperkuat kehidupan beragama
Yang
diutamakan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan memperkuat nilai
moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan
sehari - hari.
e. Melakukan pembatasan dalam menonton adegan film
yang terdapat tindakan kekerasannya dan melakukan pemilahan permainan
video game yang cocok dengan usianya.
f. Orang tua menciptakan
suasana demokratis dalam keluarga, sehingga anak memiliki keterampilan
social yang baik. Karena kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan
sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan,
cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun
anti-sosial).Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan
jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.
3. Sekolah juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran, diantaranya:
a.
Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik adalah yang bisa
Mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berpikir, berestetika,
dan berkeyakinan kepada Tuhan.
b. Pendirian suatu sekolah baru perlu
dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat
tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas
remaja.
c. Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan
koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola
penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan
atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara
"tradisional bermusuhan" itu.
4. LSM dan Aparat Kepolisian
LSM
disini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah mengenai
dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat menanggulangi tawuran.
Aparat kepolisian juga memiliki andil dalam menngulangi tawuran dengan
cara menempatkan petugas di daerah rawan dan melakukan razia terhadap
siswa yang membawa senjata tajam.
DAFTAR PUSTAKA
A,
Craig. Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive
Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial
Behavior. American Psychologycal Society 2001, (353-359).
Baron, R.A., dan Byrne D.B, 1994 Social Psychology. Under Standing Human Interaction. Boston: Allyn & Bacon.
Brent,
M. Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and
Delinquency. Research Article. American Psychological Society 2005,
(328-335).
Bringham, J.C., Social Psychology. New York: Harper colligns. Publishers Inc.
Diekmann, Andreas. Social Status and Aggression. The Journal of Social Psichology 1996, 136(6), (761-768).
Prabowo, H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.
Sarwono, S.W. 2002. “Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta : Balai Pustaka.
Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.
Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
www.liputan6.com.
www.karebosi.com
No comments:
Post a Comment