Friday, 5 June 2015

Pancasila dan mitologi moralnya

Pancasila dan mitologi moralnya
1 Juni 1945, Pancasila lahir. Seperti biasa, tidak ada gaung yang serius atau resonasi yang mampu membuat anak bangsa bergegas memperhatikan dan melakukan sesuatu secara konkret. Malah, Gaungnya kalah dengan suara misterius yang terjadi di Amerika dan Eropa. Atau kalah diperihatinkan ketimbang dibekukannya PSSI.

Sepertinya setiap tahun, kita mulai semakin lamat-lamat dan abai. Lupa bahwa Pancasila dirumuskan oleh para bapak pendiri bangsa dari roh yang diperas dari jiwa dan semangat membangun sebuah negara yang kuat dan adil sejahtera, setelah dijajah ratusan tahun secara jiwa dan raga. Lupa bahwa Pancasila berakar dari esensi moral bangsa. Bahwa pancasila bukan butuh sekedar dirituali semata. Ia punya tujuan kebangsaan yang berkarakter -yang harus menjadi bentuk dalam bangsa.

Sayangnya, Pancasila, semakin hari semakin hanya sekedar artefak, sebagai puing-puing gagasan masa lalu yang diawetkan di dalam sebuah kotak kaca di museum politik dan sebagai tontonan yang gamang dan berjarak dimaknai. Para politisi sibuk dengan kekuasaan dan rakyatnya sibuk dengan urusan nafkah yang tercecer.

Kita melihat hari ini, Pancasila, seperti halnya Soekarno, adalah retorika politik yang diagungkan seperti halnya mitos-mitos tanpa bukti yang dinikmati kisahnya. Dengan Pancasila, bagaimana kita bisa memahami makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dari perspektif yang berbeda, ketika kita melihat kekayaan bangsa ini hanya dinikmati hanya 40 atau 200 orang saja. Sementara kemiskinan absolut adalah realitas jutaan masyarakat lainnya.

Ada pernyataan yang menarik dari Hadiyanto  Direktur Jenderal (Dirjen) Kekayaan Negara Kementerian Keuangan bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang tak terbatas, sulit dihitung.

"Kekayaan negara nggak bisa dihitung, karena nggak terhingga. Semua hal bumi, air dan kekayaan menurut Pasal 33 belum ada neracanya, berat karena udara juga harus dihitung. Kita kaya sekali," katanya.

Pernyataan ini, tentu ironis dengan fakta bahwa ada 120 juta penduduk Indonesia dengan pengahasilan sekitar dibawah 18 ribu rupiah per hari di tahun 2012 versi WorldBank. Dan ini yang disebut sebagai kemiskinan absolut. Sementara pemerintah mematok berbeda. Kemiskinan absolut adalah mereka yang berpenghasilan Rp 7800 per hari. Jadi jumlahnya turun sekitar 45% dari versi WorldBank.  Reduksi ini, tentu adalah pengabaian atau sikap tidak serius dalam mengimplementasikan Pancasila. JIka penguasanya bersikap abai terhadap moral Pancasila, lalu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti apa yang bisa dipahami dengan akal sehat seperti ini?

Tentu saja, ini masih hanya satu sudut kecil yan bisa kita lihat tentang Pancasila. Kita belum menyertakan sudut-sudut lain, seperti bagaimana isi pelbagai regulasi yang diciptakan di masa reformasi menaungi para orang kaya yang berbisnis dan berpolitik dan meminggirkan rakyat dari naungan payung undang-undang tersebut. Atau bagaimana jumlah koruptor yang tidak pernah habis-habisnya.

Jadi, kita harus memahami Pancasila seperti ini, Pancasila hanya sebuah gagasan politik yang kebetulan Soekarno mampu mencangkokkannya di dalam sistem politik kita. Tetapi, politik adalah kebudayaan yang terus bergerak dan dinamis.-yang kemudian menjadi utopia, ketika kebudayaan lain yang lebih besar dan kuat lebih mampu mejejalkan hegemoni pemikiran pedagang besar ke dalam anggota masyarakat yang kemudian menjadi pemimpin.

Pancasila, percayalah, bila Rachmawati Soekarnoputri saja, tidak percaya terhadap niat para penguasa bahkan kepada saudaranya akan menjalankan Pancasila seperti gagasan Soekarno -kita mungkin harus sadar kini, bahwa Pancasila dilahirkan sebagai mitos moral dan ditakdirkan sebagai retorika semata. Tidak akan lebih. Kecuali ada kehendak lain dari Anda, segenap rakyat Indonesia.

sumber

No comments:

Post a Comment