Monday, 10 November 2014

Profil Bung Tomo, Pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Sutomo atau yang lebih dikenal dengan nama Bung Tomo adalah salah satu tokoh pemimpin pergerakan arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan dengan melakukan perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda. Inilah profil Bung Tomo, pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan.  Lahir di Kampung Blauran, Surabaya, pada 3 Oktober 1920, Sutomo berasal dari keluarga kelas menengah dalam kehidupan kolonial saat itu. Meskipun begitu, Sutomo gagal menyelesaikan pendidikannya di MULO (setingkat SMP) pada usia 12 tahun karena harus bekerja untuk bertahan hidup. Kala itu, dunia sedang dilanda krisis moneter yang berdampak hingga ke Hindia Belanda (Indonesia).  Gagal di pendidikan formal, Sutomo justru gemilang lewat jalur informal. Ia adalah anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) –embrio gerakan Pramuka– berprestasi. Pada usia 17 tahun, Sutomo menjadi satu dari tiga orang di Hinda Belanda mampu mencapai peringkat prestisius, yakni Pandu Garuda.  Bung Tomo Advertisement  Sempat menjadi jurnalis dan aktivis politik, nama Sutomo justru ”meledak” saat meletusnya Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Saat itu, Indonesia belum lama menyatakan kemerdekaannya. Pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris mendarat di Surabaya dengan tujuan ingin melucuti senjata Jepang.  Namun, ternyata ada pasukan Belanda yang membonceng Sekutu. Belanda berambisi ingin berkuasa lagi di Indonesia. Sutomo, saat itu namanya sudah populer sebagai Bung Tomo, turun gelanggang dengan membakar semangat rakyat Surabaya untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap Sekutu dan Belanda.  Lewat siaran-siaran radio, Bung Tomo menyerukan orasi dengan penuh luapan emosi yang menggelorakan motivasi pejuang rakyat untuk mengusir Belanda dari bumi Surabaya. Pekik “Merdeka Atau Mati!” menjadi salah satu ciri khas Bung Tomo pada saat itu.  PERTEMPURAN SURABAYA Advertisement  Kendati pada akhirnya rakyat Surabaya mengalami kekalahan, namun Pertempuran 10 November 1945 menjadi salah satu titik penting dalam catatan sejarah bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Hingga kini, setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Surabaya pun dikenang sebagai Kota Pahlawan. Namanya juga diabadikan menjadi stadion terbesar di Surabaya, yaitu Stadion Gelora Bung Tomo.  Bung Tomo meninggal dunia pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi, saat menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dipulangkan ke tanah air dan dimakamkan di Surabaya. Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2008, pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo.
Sutomo atau yang lebih dikenal dengan nama Bung Tomo adalah salah satu tokoh pemimpin pergerakan arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan dengan melakukan perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda. Inilah profil Bung Tomo, pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan.

Lahir di Kampung Blauran, Surabaya, pada 3 Oktober 1920, Sutomo berasal dari keluarga kelas menengah dalam kehidupan kolonial saat itu. Meskipun begitu, Sutomo gagal menyelesaikan pendidikannya di MULO (setingkat SMP) pada usia 12 tahun karena harus bekerja untuk bertahan hidup. Kala itu, dunia sedang dilanda krisis moneter yang berdampak hingga ke Hindia Belanda (Indonesia).

Gagal di pendidikan formal, Sutomo justru gemilang lewat jalur informal. Ia adalah anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) –embrio gerakan Pramuka– berprestasi. Pada usia 17 tahun, Sutomo menjadi satu dari tiga orang di Hinda Belanda mampu mencapai peringkat prestisius, yakni Pandu Garuda.

Bung Tomo




Sempat menjadi jurnalis dan aktivis politik, nama Sutomo justru ”meledak” saat meletusnya Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Saat itu, Indonesia belum lama menyatakan kemerdekaannya. Pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris mendarat di Surabaya dengan tujuan ingin melucuti senjata Jepang.

Namun, ternyata ada pasukan Belanda yang membonceng Sekutu. Belanda berambisi ingin berkuasa lagi di Indonesia. Sutomo, saat itu namanya sudah populer sebagai Bung Tomo, turun gelanggang dengan membakar semangat rakyat Surabaya untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap Sekutu dan Belanda.

Lewat siaran-siaran radio, Bung Tomo menyerukan orasi dengan penuh luapan emosi yang menggelorakan motivasi pejuang rakyat untuk mengusir Belanda dari bumi Surabaya. Pekik “Merdeka Atau Mati!” menjadi salah satu ciri khas Bung Tomo pada saat itu.


PERTEMPURAN SURABAYA


Kendati pada akhirnya rakyat Surabaya mengalami kekalahan, namun Pertempuran 10 November 1945 menjadi salah satu titik penting dalam catatan sejarah bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Hingga kini, setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Surabaya pun dikenang sebagai Kota Pahlawan. Namanya juga diabadikan menjadi stadion terbesar di Surabaya, yaitu Stadion Gelora Bung Tomo.

Bung Tomo meninggal dunia pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi, saat menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dipulangkan ke tanah air dan dimakamkan di Surabaya. Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2008, pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo.

sumber

No comments:

Post a Comment