Friday, 4 July 2014

Soekarno dan Soeharto dalam Uga Wangsit Siliwangi


Jauh sebelum negeri ini merdeka, bahkan sebelum penjajahan terjadi secara merata di Indonesia, ketika negeri ini masih dikuasai para raja yang menurut para pedagang Arab saat itu sebagai jaziratul muluk, ‘tanah yang banyak rajanya’, Prabu Siliwangi telah mengisyaratkan bahwa negeri ini akan dipimpin oleh Soekarno yang kemudian diganti oleh Soeharto. Memang Sang Prabu tidak pernah menyebutkan namanya secara persis. Ia hanya menggambarkan ciri-cirinya. Bahkan, ciri-cirinya pun tidak tersurat secara jelas, tetapi memberikan ruang untuk ditelusuri rahasia yang tersirat dari uganya.

Dalam bahasa Sunda.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Dalam bahasa Indonesia.

Lalu, berdirilah seorang raja, asalnya orang biasa. Akan tetapi, memang titisan raja zaman dulu dan ibunya seorang puteri Pulau Dewata. Karena jelas titisan raja, raja baru itu susah untuk dianiaya! Selepas itu, ganti lagi zaman. Ganti zaman, ganti kisah! Kapan? Tidak lama setelah tampak bulan di siang hari yang disusul melintasnya bintang terang bercahaya. Di bekas negara kita, berdiri lagi kerajaan. Kerajaan di dalam kerajaan dan rajanya bukan trah Pajajaran.

Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno lahir di Lawang Seketeng, Surabaya, 6 Juni 1901. Ayahnya seorang guru dengan gaji 27,5 gulden setiap bulan. Namanya Soekemi Sosrodihardjo. Ayahnya berasal dari Blitar. Selaku pegawai gubernemen, Soekemi pernah dimutasikan ke Bali. Di Bali Soekemi bertemu dengan seorang dara manis berdarah ningrat kasta Brahmana yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Dua insan berbeda agama ini terkait jalinan asmara. Tak lama kemudian, mereka menikah. Soekemi adalah Islam Abangan, sedangkan Ida Ayu Hindu Dharma. Hasil pernikahan mereka melahirkan Soekarmini dan Koesno Sosro Karno (nama kecil Bung Karno).

Sebenarnya, pernikahan mereka termasuk kontroversial. Artinya, Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai telah merobek adat yang berlaku. Pasalnya, Sang Laki-laki hanyalah seorang guru biasa, sedangkan Ida Ayu adalah ningrat yang sangat kuat terkungkung adat. Tampaknya, Allah swt menurunkan takdir yang sangat kuat untuk mempersatukan mereka.

Besar kemungkinan hal ini pula yang telah mendorong Soekarno ketika dewasa melakukan pengembaraan batin menuju Allah swt.

Jelas bukan, Soekarno adalah keturunan puteri dari Pulau Dewata, Pulau Bali, sebagaimana yang disebutkan Prabu Siliwangi ratusan tahun silam?

Oh ya, soal raja anyar hese apes ku rogahala, ‘raja baru itu susah dianiaya’, itu bisa dilihat dari berbagai buku sejarah maupun buku-buku biografi Soekarno, termasuk buku yang saya susun, yaitu Presiden RI dari Masa ke Masa. Soekarno sejak muda kerap mendapatkan banyak tantangan dan perlakuan buruk. Apalagi setelah mulai manggung di pentas perpolitikan nasional, ia sempat dilempari granat yang terkenal dengan nama peristiwa Cikini, pernah pula ditembaki dari pesawat tempur, belum lagi berulang kali masuk penjara dan pembuangan ke Ende, Flores.

Semuanya itu dialaminya, tetapi semangat perjuangan dan kegigihan kemerdekaan membuatnya dapat melewati semuanya dengan selamat dan muncul sebagai pemenang. Itulah yang telah digambarkan Prabu Siliwangi tentang raja yang susah jatuh oleh penganiayaan.

Selepas Soekarno yang berkuasa hanya sebentar itu, Soeharto datang menggantikannya. Prabu Siliwangi melukiskannya dengan adanya kerajaan di dalam kerajaan. Maksudnya, sesungguhnya Soeharto itu sudah mendirikan kerajaan dan menjadi rajanya sekaligus sejak Soekarno sakit parah.

Soekarno memang pernah sakit parah sehingga harus mendatangkan dokter dari Cina, Peking. Saat Soekarno sakit itu Amerika Serikat beserta negara-negara sekutu kapitalisnya ketar-ketir, was-was, takut setengah mati. Mereka sangat takut jika Partai Komunis Indonesia akan memimpin Indonesia pasca-Soekarno. Ketakutan mereka sangat beralasan karena PKI adalah partai komunis terbesar di dunia dan nomor empat pemenang Pemilu di Indonesia. Oleh sebab itu, AS menyusun strategi dan skenario untuk memenangkan persaingan. Memang saat itu sudah terjadi persaingan sengit antara kapitalis dan komunis di seluruh dunia yang merembes ke dalam negeri.

Pada mulanya AS akan menggunakan Jenderal Ahmad Yani dan atau Jenderal A.H. Nasution. AS secara intens mendekati keduanya. Akan tetapi, kedua jenderal itu menolak mengikuti skenario AS dengan tegas dengan alasan keduanya sangat setia pada Pancasila dan Bung Karno. Soekarno memang sangat anti-AS, antikapitalis sekaligus pembendung komunis yang gigih. Saat Soekarno berkuasa, baik kapitalis maupun komunis tidak bisa leluasa meluaskan pengaruhnya secara bebas di Indonesia. Soekarno memagarinya dengan doktrin Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Komunis dipaksa Soekarno harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya dan nafas bangsa. Adapun kapitalis memang dipandang sebagai sumber kolonialisme-imperialisme. Jadi, selama kepemimpinan Soekarno, kapitalis dan komunis hanya dalam keadaan saling bisu sambil menaruh dendam.

Karena kedua jenderal sohor itu menolak, AS mencari sosok lain. Akhirnya, pilihan jatuh kepada seorang jenderal yang menurut CIA tidak terkenal, bermasalah, tetapi lumayan cerdas. Sosok itu adalah Soeharto.

Sejak saat itu, Soeharto mulai mengembangkan kerajaaannya yang setiap hari semakin kuat. Sementara itu, Soekarno meskipun sudah sembuh dari sakit, kekuasaannya semakin hari semakin menurun yang memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September. Sejak G-30-S itu, sesungguhnya Soeharto telah mengendalikan kerajaannya di dalam kerajaan Soekarno. Bahkan, kerajaan Soeharto lebih kuat dibandingkan kerajaan Soekarno. Kerajaan Soekarno hanya berputar pada masalah politis yang kerap hambar di tingkat teknis pelaksanaan, sedangkan Soeharto memiliki banyak pasukan militer dan politisi yang bisa segera digerakkan. Apalagi setelah Supersemar yang kontroversial itu, kerajaan Soekarno semakin lemah, sementara kerajaan Soeharto semakin mendekati bentuk aslinya. Itulah yang dimaksud kerajaan di dalam kerajaan.

Ada satu pernyataan yang menggelitik dalam Uga Wangsit Siliwangi, yaitu pernyataan rajana lain teureuh Pajajaran, ‘rajanya bukan trah Pajajaran’.
Mengapa harus ada kalimat seperti itu?

Soekarno pun bukan trah Pajajaran, tetapi tidak disebut bukan trah Pajajaran.

Saya jadi kasihan sama Soeharto. Akan tetapi, ya mau bagaimana lagi? Bukankah setiap orang akan menuai hasil perilakunya sendiri?

Pernyataan Prabu Siliwangi tentang Soeharto yang bukan trah Pajajaran itu seolah-olah ingin menegaskan bahwa Soeharto itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Pajajaran, apalagi dengan dirinya. Kalaulah Prabu Siliwangi berhati kasar, mungkin pernyataannya bukan halus seperti itu, mungkin akan seperti ini, teuing teu nyaho raja eta mah, euweuh pakuat pakait jeung Ngaing, ‘tidak tahu ah raja yang itu mah, nggak ada hubungannya dengan saya’. Sang Prabu seakan-akan menolak dirinya dan Pajajaran untuk dihubung-hubungkan dengan Soeharto.

Prabu Siliwangi itu bertutur halus, menyembunyikan perasaan, tetapi membuka ruang untuk dianalisa. Berbeda dengan syair-syair dari Jawa yang cenderung lebih lugas dan lebih terbuka, padahal Soeharto itu jelas-jelas Jawa.

Dalam Kitab Musarar Jayabaya yang Jawa itu dengan tegas dikatakan Soeharto sebagai Gajah Meta Semune Tengu Lelaki, artinya raja yang ditakuti rakyat, tetapi hidupnya nista, hina. Demikian pula R. Ng. Ronggowarsito yang mengatakan bahwa Soeharto itu adalah Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar yang artinya pemimpin yang berharta dunia dan ditakuti, tetapi selalu dikaitkan dengan keburukan dan selalu dalam keadaan dipersalahkan, serba buruk.

Sedikit lebih lengkap, Soeharto menurut Jayabaya berikut ini. Gajah meta Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari.” Artinya, gajah meta semune tengu lelaki, enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
Jadi kasihan juga ya. Sekarang dimulai lagi keadaan nista buat Soeharto yang dilakukan oleh para pencintanya. Mereka mengusulkan agar Soeharto menjadi pahlawan. Duh, sesungguhnya, usulan itu hanya akan membuat Soeharto tampak lebih buruk dan jahat. Soalnya, orang-orang yang pernah tersakiti, teraniaya, terbungkam, dan lawan-lawan politiknya meminta kasus-kasus yang sampai saat ini masih misterius dibuka secara jelas dan dituntaskan segera, misalnya, kasus KKN, kroniisme, penghilangan para aktivis, pembunuhan-pembunuhan, kerusuhan, keterkaitannya dengan peristiwa G-30-S yang diduga keras saat ini bahwa Soeharto-lah dalang dari semuanya sebagai kaki tangan CIA, dan lain sebagainya.

Kalau menurut saya mah, sudah hentikan wacana Soeharto menjadi pahlawan. Hal itu hanya akan membuat dia tampak lebih nista dan hina. Kasihan. Sebaiknya, para penggemar beratnya itu kalau memang mencintai Soeharto, doakan saja dan terus doakan agar dosa-dosanya diampuni dan diringankan bebannya di “alam sono”. Soalnya, dia itu sedang menanti doa-doa karena sudah tidak punya kesempatan lagi untuk berbuat baik dan mengurangi dosanya. Hanya doa yang akan membuatnya lebih ringan di “sono”. Dia nggak perlu gelar pahlawan itu kok. Dia saat ini sedang “sibuk sekali” dengan urusannya di alam “sono”.

No comments:

Post a Comment