Thursday 4 April 2013

Kiat Menghandapi Bos Arogan



Bekerja dengan pimpinan bersikap arogan dan sok berkuasa tentu tidak nyaman. Pimpinan semacam ini biasanya tidak mudah menerima pendapat staf. Ia cenderung merasa kebijakannya selalu benar dan harus dipatuhi bawahannya.
Sebagian karyawan terpaksa mengikuti kata-kata bos, meski hatinya sesak. Sebagian lain mungkin memilih mundur dari pekerjaan sebagai jalan terbaik.

Bagaimana seharusnya menyikapi arogansi pimpinan?

Baiturokhim, pendiri Lembaga Bantuan Psikologi Islam Indonesia menjelaskan, pemimpin model ini cenderung angkuh dengan jabatannya, sehingga tak jarang keluar ancaman untuk memecat stafnya yang kritis. “Jika dalam kondisi tersebut ada staf yang reaktif, sok jago, dan bermental pimpinan, justru akan membuat iklim kerja terganggu,” jelasnya.

Psikolog yang berkantor di Bogor ini menganalisis, ada tiga sikap staf dalam menghadapi model arogansi pimpinan: menghadapi dengan cara emosional agresif, submisif pasif, atau asertif.

Berikut penjelasan dampak ketiga sikap tersebut dan rekomendasi Baiturokhim;

1. Menghadapi pimpinan dengan cara emosional agresif sangat tidak dianjurkan. Sebab, status seorang staf lebih lemah di hadapan pimpinan. Ketersinggungan pimpinan atas cemoohan staf seringkali berakibat fatal. Hal ini karena pimpinan memiliki wilayah kekuasaan dari rasional hingga tidak rasional. Dampaknya, staf yang emosional agresif bisa langsung mendapat Surat Peringatan Akhir (SP-3) hingga pemecatan.

2. Menghadapi dengan cara submisif pasif juga tidak dianjurkan. Ini adalah saat staf sangat tersinggung dengan arogansi pimpinan, namun tetap bertahan, pasif, cuek, dan bungkam. Mereka takut memberikan masukan, khawatir akan berbuntut pemecatan. Sikap staf seperti ini berdampak buruk, baik untuk sistem perusahaan maupun mentalitas pribadi.

Secara sistem, sikap tersebut menciptakan perilaku munafik bagi staf dan membuat produktivitas kerja tidak maksimal. Dalam jangka waktu lama akan menghancurkan organisasi perusahaan. Sementara secara pribadi, masalah tersebut akan menyebabkan staf menjadi stres atau frustrasi yang berdampak ke banyak hal lain.

3. Baiturokhim merekomendasikan staf menghadapi pimpinan dengan cara asertif. Misalnya, karyawan memberanikan diri meminta waktu khusus untuk berkomunikasi dengan pimpinan terkait sikapnya. Dengan catatan, staf tersebut mampu menyampaikannya dengan cara elegan, strategis, dan nyaman, sehingga pimpinan mau menerima.

“Jika mampu, staf seperti ini tergolong orang yang berkualitas super, memiliki mental prima untuk melakukan perubahan walau dengan kemungkinan risiko,” katanya.

Baiturokhim mengungkapkan, dalam kajian psikologis, seseorang yang bersikap arogan sebenarnya tidak selamanya bersikap seperti itu. Ia tetap manusia biasa yang bisa tersenyum dan bercanda dengan orang yang dicintainya.
Oleh karena itu, perlu teknik komunikasi sebagaimana direkomendasikan.

Selain itu, substansi isi pesan yang disampaikan juga sangat penting. Ketika menyampaikan, staf tidak cukup memaparkan persoalan dan keluhan. “Akan tetapi lebih pada argumentasi dan solusi yang secara rasional dan perasaan bisa diterima,” ujarnya.

Jika langkah tersebut tak membawa perubahan, keputusan dikembalikan pada staf. Apakah mau bertahan di kantor dalam situasi tidak nyaman, atau memutuskan keluar kerja. “Namun kami bisa merekomendasikan staf untuk berpikir baru, menyusun skenario baru agar terbebas dari pimpinan arogan. Menuju pengembangan karier yang lebih maju,” katanya.

Sebab, jika staf terus bertahan, maka mental mereka semakin terkerdilkan dan bisa menghancurkan karier. Untuk ke depannya, staf juga akan menjadi arogan karena telah mendapatkan pelajar dari seniornya selama bertahun-tahun.
“Rencana untuk mundur dan mencari pekerjaan dengan lingkungan baru yang lebih nyaman bisa dilakukan,” tandasnya.

Sumber

No comments:

Post a Comment