Monday 17 December 2012

PEMBANTAIAN SISWA SD DI CONNECTICUT AS


APA yang menyebabkan tragedi penembakan massal, seperti yang terjadi di Sekolah Dasar Sandy Hook di Newtown, Jumat (14/12) lalu, sering terjadi di AS? Kepemilikan senjata yang luaskah atau atau masyarakat negara itu tengah menderita sakit mental akut? Adam Lanza telah dipastikan sebagai pelaku pembantaian terhadap 26 orang di sekolah itu. Lanza orang ke sekian di AS yang melakukan hal semacam itu. Penembakan massal mematikan merupakan kejadian lumrah di area publik AS.

Di bawah ini adalah kisah Lisa Long, seorang pengarang dan musisi, yang juga ibu tunggal dari empat orang anak, dan salah satunya berkebutuhan khusus. Ia menulis kisahnya di sebuah blog, tetapi kemudian tersebar di berbagai media negara itu, tentang anaknya yang berpontesi menjadi Adam Lanza berikutnya.

***

Tiga hari sebelum Adam Lanza (20 tahun) membunuh ibunya, lalu menyerbu sebuah kelas TK di Connecticut, putra saya yang berusia 13 tahun, Michael (bukan nama sebenarnya), ketinggalan bus karena dia mengenakan celana yang warnanya tidak sesuai dengan aturan sekolah.

"Saya bisa pakai celana ini," katanya, nadanya agresif, matanya membelalak hitam.

"Itu warna biru tua," kata saya. "Aturan seragam sekolahmu mengatakan celana hitam atau khaki saja."

"Mereka bilang saya bisa pakai ini," tegasnya. "Kamu perempuan jalang. Saya bisa pakai celana apapun yang saya mau. Ini Amerika. Saya punya hak!"

"Kamu tidak bisa pakai celana apapun sesukamu," kataku, nada suara saya tetap ramah, wajar. "Dan kamu tidak boleh memanggil saya perempuan jalang. Kamu tidak boleh menikmati barang-barang elektronik selama hari ini. Sekarang masuk ke mobil. Saya akan antar kamu ke sekolah."

Saya tinggal bersama anak lelaki saya yang sakit secara mental. Saya mencintai putra saya. Namun dia menakutkanku.

Beberapa minggu lalu, Michael mengambil pisau dan mengancam akan membunuh saya dan kemudian dirinya setelah saya memintanya untuk mengembalikan buku perpustakaannya yang sudah terlambat dikembalikan. Saudaranya yang berusia 7 dan 9 tahun sudah tahu bagaimana menyelamatkan diri, mereka berlari ke mobil dan mengunci pintu sebelum saya meminta mereka. Saya berhasil meraih pisau itu dari Michael, lalu secara sistematis mengumpulkan semua benda tajam di rumah ke dalam sebuah wadah Tupperware tunggal yang sekarang selalu ada bersama saya. Karena semua itu, ia terus berteriak menghina saya dan mengancam akan membunuh atau menyakiti saya.

Kekacauan itu berakhir saat tiga petugas polisi yang kekar dan seorang paramedis membawa anak saya naik ambulans ke ruang gawat darurat setempat. Rumah sakit jiwa tidak punya tempat tidur kososng hari itu, dan Michael kemudian menjadi tenang di UGD, sehingga mereka mengirim kami pulang dengan resep untuk Zyprexa. Seorang psikiater anak lokal mengunjungi kami kemudian.

Kami masih tidak tahu apa yang salah dengan Michael. Spektrum autisme, ADHD, Oppositional Defiant atau Intermittent Explosive Disorder semuanya telah diobservasi dalam berbagai pertemuan dengan para petugas probation, pekerja sosial, konselor, guru dan penyelenggara sekolah.

Pada awal kelas tujuh, Michael diterima di program akselerasi bagi siswa matematika berbakat dan sains. IQ-nya sangat tinggi. Ketika dia dalam suasana hati yang baik, ia dengan senang hati akan membahas berbagai subyek mulai dari mitologi Yunani hingga perbedaan antara fisika Einstein dan Newton. Dia kebanyakan berada dalam suasana hati yang baik. Namun jika sebaliknya, hati-hati. Dan tidak mungkin untuk memprediksi apa yang akan membuatnya marah.

Beberapa minggu di SMP barunya, Michael mulai memperlihatkan keanehan yang kian menjadi dan perilaku mengancam. Kami memutuskan untuk mengirimnya ke program pembenahan perilaku milik distrik, sebuah lingkungan sekolah di mana anak-anak yang tidak bisa berlaku normal di kelas dapat mengakses hak mereka bagi free public babysitting dari pukul 07.30 hingga 13.50 pada hari Senin hingga Jumat sampai mereka berusia 18 tahun.

Pagi hari saat insiden celana itu, Michael terus berdebat dengan saya saat kami berkendara. Dia kadang-kadang akan meminta maaf dan tampak menyesal. Tepat sebelum kami berbelok ke tempat parkir sekolahnya, ia berkata, "Lihat, Mom, saya sungguh minta maaf. Bolehkah saya main video game hari ini?"

"Tidak," kataku. "Kamu tidak bisa bertindak seperti yang telah kamu lakukan pagi ini dan berpikir kamu bisa mendapatkan kembali hak istimewamu untuk menikmati elektronik dengan cepat."

Wajahnya jadi dingin, dan sorotan matanya penuh perhitungan kemarahan. "Kalau begitu saya akan bunuh diri," katanya. "Saya akan melompat keluar dari mobil sekarang dan bunuh diri."

Setelah insiden pisau itu, saya sudah bilang padanya bahwa jika ia pernah mengucapkan kata-kata itu lagi (niat bunuh diri dan membunuh), saya akan membawanya langsung ke rumah sakit jiwa. Saya tidak bereaksi (atas niatnya terjun dari mobil). Saya langsung memutar kendaraan ke arah berlawanan, belok kiri bukan kanan.

"Kemana kamu membawaku?" katanya, ia tiba-tiba khawatir. "Kita mau kemana?"

"Kamu tahu ke mana kita akan pergi," jawab saya.

"Tidak! Kamu tidak bisa melakukan itu terhadapku. Kamu mengirim saya ke neraka! Kamu mengirim saya langsung ke neraka!"

Saya berhenti di depan rumah sakit, dengan panik melambaikan tangan ke salah seorang dokter yang kebetulan berdiri di luar. "Telepon polisi," kataku. "Cepat."

Michael berontak saat itu, berteriak-teriak dan memukul. Saya memeluknya kencang sehingga ia tidak bisa melarikan diri dari mobil. Dia menggigitku beberapa kali dan berulang kali menyikutkan sikunya ke tulang rusukku. Saya masih lebih kuat dari dia, tapi saya tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Polisi datang dengan cepat dan membawa anak saya yang menjerit dan menendang ke bagian dalam rumah sakit. Saya mulai gementaran, dan air mata memenuhi mataku saat saya mengisi dokumen... "apakah ada kesulitan dengan ... pada umur berapa anak anda ... apakah ada masalah dengan.... apakah anak anda pernah mengalami .. apakah anak anda punya ... "

Setidaknya kami punya asuransi kesehatan sekarang. Saya baru-baru ini mendapat pekerjaan di sebuah perguruan tinggi setempat, mengakhir karir freelance saya karena ketika anda memiliki anak-anak seperti ini, anda perlu jaminan. Tidak ada asuransi individu yang akan mencakup hal semacam ini.

Selama berhari-hari, anak saya berkeras bahwa saya bohong, saya membuat semuanya sehingga saya bisa menyingkirkannya. Hari pertama, ketika saya menelepon untuk memantau, dia bilang, "Saya benci kamu. Saya akan balas dendam begitu saya keluar dari sini."

Hari ketiga, ia telah kembali menjadi anak laki-lakiku yang tenang, manis, serta semua permintaan maaf dan janji untuk menjadi lebih baik. Saya sudah pernah mendengar janji-janji itu selama bertahun-tahun. Saya tidak percaya lagi.

Pada formulir perawatan, atas pertanyaan, "Apa harapan Anda untuk perawatan?" Saya tulis, "Saya butuh bantuan."

Masalah ini terlalu besar bagi saya untuk tangani sendiri. Kadang-kadang tidak ada pilihan yang baik. Jadi anda hanya berdoa untuk mendapatkan kasih karunia.

Saya berbagi kisah ini karena saya seorang ibu dari Adam Lanza. Saya ibu dari Dylan Klebold dan Eric Harris. Saya ibu dari Jason Holmes. Saya ibu Jared Loughner. Saya ibu dari Seung-Hui Cho. Dan anak-anak itu serta ibu mereka membutuhkan bantuan. Sangat mudah untuk membahas tentang senjata dalam tragedi semacam ini. Namun kini waktunya untuk berbicara tentang penyakit mental.

Menurut Mother Jones, sejak tahun 1982, ada 61 pembunuhan massal yang melibatkan senjata api terjadi di seluruh AS. Dari jumlah itu, 43  pelaku adalah pria kulit putih, dan hanya seorang perempuan. Mother Jones berfokus pada apakah pembunuh memperoleh senjata mereka secara legal (hampir semuanya legal). Namun tanda-tanda jelas tentang penyakit mental ini harus membawa kita untuk mempertimbangkan berapa banyak orang di Amerika Serikat hidup dalam ketakutan, seperti yang saya alami.

Ketika saya bertanya kepada pekerja sosial untuk anak saya tentang pilihan saya, dia mengatakan bahwa satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah membuat Michael dituduh melakukan  kejahatan. "Tak seorang pun akan memperhatikan anda kecuali anda mempunya tuduhan." kata pekerja sosial itu.

Saya tidak percaya anak saya akan masuk penjara. Lingkungan yang kacau memperparah sensitivitas Michael terhadap rangsangan sensorik dan tidak berhubungan dengan patologi yang dialaminya. Namun tampaknya Amerika Serikat sepertinya sedang menggunakan penjara sebagai solusi bagi orang-orang sakit mental. Menurut Human Rights Watch, jumlah narapidana sakit mental di penjara AS meningkat empat kali lipat dari tahun 2000 hingga 2006, dan jumlahnya terus meningkat.

Tidak ada yang ingin mengirim seorang bocah 13 tahun yang jenius yang mencintai Harry Potter dan koleksi hewannya ke penjara. Tapi masyarakat kita, dengan stigmanya terhadap penyakit mental dan sistem kesehatan yang rapuh, tidak memberikan kita pilihan lain. Lalu muncul lagi seseorang yang jiwanya tersika menembak sebuah restoran makanan cepat saji. Sebuah mal. Sebuah kelas anak-anak TK. Dan kita hanya bisa meremas tangan kita dan mengatakan, "Sesuatu harus dilakukan."

Saya setuju bahwa sesuatu harus dilakukan. Sudah waktunya membahas tentang kesehatan mental nasional. Hanya itulah satu-satunya cara bangsa kita bisa benar-benar sembuh.

Tuhan bantu saya. Tuhan bantu Michael. Tahun bantu kami semua.



Sumber

No comments:

Post a Comment