Thursday, 15 December 2011

Kisah Relawan di Mentawai (3): Membantu Korban di Maonai


Pengalaman terombang-ambing di kala badai kembali kami temui saat melakukan mobile clinic ke wilayah Maonai, Pagai Selatan. Maonai adalah salah satu daerah terparah dengan tingkat kehancuran dan korban meninggal cukup banyak. 

Perjalanan ke Maonai membutuhkan waktu 4 jam menggunakan speed boat 15 PK. Semua sudah kami persiapkan sebelum berangkat, mulai dari life jacket, perlengkapan perahu dan lain-lain, terlebih lagi doa dan tawakkal kepada-Nya. 

Setelah satu jam kami berlayar, di tengah-tengah gelombang yang cukup besar, kami lagi-lagi dihadapkan dengan gumpalan awan hitam yang merupakan badai besar. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, akhirnya long boat yang kami naiki terjebak dalam pusaran badai yang tingginya lebih dari 5-6 meter. Perahu kami pun melaju di atas ombak di tengah badai.

Dengan keyakinan kepada Allah Yang Maha Kuasa, kami berdoa tiada henti. Kami yakin meskipun kami mati saat itu, insya Allah tak ada yang sia-sia amal sholeh kami di hadapan Allah.

Di titik yang cukup jauh terlihat sebuah pulau kecil yang memungkinkan kami untuk berlindung dari terpaan badai. Alhamdulillah, setelah 2 jam kami terombang-ambing, akhirnya kami bisa istirahat sejenak di pulau tersebut sembari menyantap sarapan yang telah kami beli sebelumnya di Pulau Sikakap serta sambil menunggu badai hilang.
Setelah sekitar 15 menit menunggu badai hilang, perjalanan pun kami lanjutkan. Badai sudah mulai hilang, namun ombak masih sangat besar. Kami kembali berlayar dengan kecepatan sedang.

Mendarat di Maonai
Dalam waktu sekitar 1 jam, kami tiba di sebuah pulau di Pagai Selatan yang bernama Maonai. Long boat yang kami naiki tak bisa merapat akibat angin yang sangat kencang kala itu, sehingga kami mengambil jalur lain dekat muara sungai di tepian pantai, yaitu di perbatasan antara Desa Maonai dengan Desa Bulasat, Belei Raksok. 

Dengan susah payah, sang operator boat mengendalikan perahu menghindari kumpulan-kumpulan karang yang tampak maupun tidak tampak di permukaan. Tak sedikit badan perahu membentur karang  hingga mengakibatkan salah satu di antara kami turun membenah dan mengangkat mesin tempel boat guna menghindari benturan karang. Long boat akhirnya masuk ke sebuah muara kecil yang sedikit berbatu. Kami kemudian menurunkan logistik dan 1 kotak boks emergency lengkap dengan obat-obatannya yang kami bawa dari Sikakap. 

Saya sendiri sebenarnya adalah relawan nonmedis yang biasanya bertugas di bagian administrasi dan logistik. Namun, berbekal pengalaman dari SAR dan dari kegiatan kemanusiaan MER-C, kami yang nonmedis juga akhirnya berpengalaman dan punya keahlian mengenai kegawatdaruratan medis. Alhamdulillah, saya banyak belajar di sini.

Ternyata butuh waktu 1 jam lebih berjalan kaki untuk mencapai pengungsian warga desa Maonai. Bawaan logistik yang berat, kondisi jalan yang becek, serta banyaknya pohon-pohon besar yang tumbang membuat perjalanan kami makin terasa sulit. Sampai di perkampungan, kami hanya melihat hamparan pasir putih yang luas, tak ada bangunan yang tersisa, semua hancur luluh lantah. 

Kondisi geografis di Maonai dan kondisi masyarakatnya sama seperti desa-desa lainnya di Pagai Selatan. Bedanya, di Maonai tidak ada bangunan yang tersisa sedikit pun. Yang ada hanya puing-puing dan sampah yang berserakkan tak tentu arah akibat gelombang. 

Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil, kami bertemu dengan warga yang memberitahukan lokasi pengungsian para korban. Untuk menuju tempat pengungsian tersebut kami harus mendaki sebuah bukit. Setelah berjalan cukup jauh melintasi bukit, sampailah kami di sebuah tempat pengungsian dengan sambutan air hujan. 

Berdesak-desakan di tenda pengungsian

Sedih sekali ketika melihat sebuah keluarga menghuni tenda yang sangat kecil. Awalnya mungkin terlihat biasa saja. Namun, setelah menemui keluarga tersebut, ternyata banyak sekali anggota keluarganya yang berada di dalam tenda. Kira-kira ada 11 orang di sana, berdesak-desakkan di tengah tangisan seorang bayi.

Ditemani seorang ketua masyarakat setempat, kami diajak ke sebuah tenda berwarna merah berukuran cukup besar. Di tempat itulah kami membagikan logistik dan memberikan perawatan medis kepada warga yang luka-luka.

Selesai menunaikan amanah kepada warga korban gempa dan tsunami di desa ini, kami kembali ke tempat long boat bersandar untuk pulang ke posko MER-C di Sikakap. Namun, sesampainya di perahu, seorang warga desa Bulasat yang bernama pak Muslim menyarankan kami untuk menginap di rumahnya karena cuaca laut sedang tidak bagus untuk berlayar pulang ke Sikakap. Saran yang baik dan tawaran itu pun kami terima dengan senang hati. 

Bingung mencari mushala

Arloji di tangan menunjukkan pukul 17:00 waktu setempat. Saatnya untuk menunaikan sholat dengan menjamak takhir sholat Dhuhur ke Ashar dan mengqasharnya. Selesai berwudhu, kami bingung mencari tempat untuk sholat karena di sana tidak ada masjid atau mushala. Yang ada hanya gereja dan rumah-rumah warga yang telah kosong ditinggal mengungsi oleh para penghuninya. 

Tidak kehabisan akal, akhirnya kami pakai bendera MER-C sebagai alas untuk bersujud dan memohon ampun kepada rabb kami Allah robbul ‘izzati. Setelah melaksanakan rutinitas ibadah, kami pun menginap di rumah pak Muslim. 

Hari menjelang malam. Perut kami mulai terasa lapar. Kami bersama-sama memasak mie rebus di kediaman Pak Muslim dengan air hujan sebagai kuahnya yang sebelumya ditampung oleh Pak Muslim. Nikmat sekali menyantap mie rebus, walaupun hanya menggunakan wadah baskom dan sumpit yang kami buat dari lidi pohon kelapa. 

Hari semakin larut, badan pun terasa lelah. Kami beristirahat di sebuah gubuk panggung yang terbuat dari kayu. Baru sejenak merebahkan badan, kami disibukkan dengan bunyi dan gigitan nyamuk agas, nyamuk berukuran kecil yang apabila menggigit rasanya sakit dan gatal sekali. Kami lupa membawa obat racun nyamuk sehingga kami menggunakan cara lain untuk mengusir nyamuk, yaitu dengan membakar sampah-sampah di samping rumah dengan harapan nyamuk-nyamuk tersebut jera dengan bau asap. 

Akhirnya kami benar-benar bisa tidur pulas hingga bangun kesiangan sekitar pukul 06:00 keesokan harinya. Pukul 08:00 kami pun bertolak ke Sikakap. Perjalanan pulang ke Sikakap hanya ditempuh dalam 3 jam, 1 jam lebih cepat karena cuaca yang bagus. 


Khoirul Mustafa Relawan Non Medis MER-C

No comments:

Post a Comment